
Apa jadinya jika pandemi membuatmu pulang kampung, dan babi hutan jadi inspirasi film pertamamu?
Begog adalah film pendek animasi berdurasi 4 menit, yang saya produksi pada tahun 2020. Diproduksi ketika pandemi COVID-19, film ini merupakan karya untuk tugas mata kuliah Animasi Eksperimental di Prodi Animasi, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, yang dibimbing oleh dosen Mahendra Dewa Suminto dan Agni Saraswati.
Latar Cerita dan Inspirasi
Kata “begog” merupakan bahasa Sunda yang artinya babi hutan. Saya memilih mengangkat hewan ini sebagai ide cerita untuk film. Saat itu, di kampung saya, sedang gencar-gencarnya pemburu dari berbagai daerah memburu hewan ini—hewan yang sering merusak tanaman warga seperti umbi-umbian pada siang dan malam hari. Warga sering begadang di kebun untuk mengusir babi yang menyerbu tanaman. Tak jarang pula, babi hutan ini masuk ke perkampungan ketika sedang diburu.
Saya menyaksikan sendiri induk babi hutan berlari dengan berdarah-darah, tepat di depan rumah saya. Babi itu tertembak pemburu dan dikejar anjing-anjing pemburu. Saya tidak bisa membayangkan jika ada anak-anak yang sedang bermain di halaman rumah. Babi hutan tidak akan segan untuk menabrak mereka. Dari pengalaman inilah saya tergerak untuk membuat cerita untuk film animasi eksperimental saya.
Eksperimen di Tengah Pandemi
Saat itu saya kuliah secara daring, karena situasi COVID-19 yang sangat mengkhawatirkan. Saya pulang ke kampung saya di Cilacap. Keterbatasan alat dan jaringan mendorong saya untuk menjadi lebih kreatif. Sebelum produksi film ini, saya berpikir, “Gimana ya jadinya kalau alam membantu saya membuat film atau saya menggunakan alam untuk membuat film?”, seperti karakter animasi Son Goku dan Naruto yang memanfaatkan energi alam untuk dijadikan kekuatannya. Kedua film yang, ketika saya kecil, selalu saya tunggu-tunggu tayang setiap Minggu pagi.
Proyek yang saya kerjakan sebelum film ini ialah pembuatan film Wayang Lostang yang disutradarai oleh Samuel Indratma. Di film ini kami menggunakan aset berupa wayang yang terbuat dari busa hati. Samuel Indratma membuat karakter yang dibutuhkan untuk film Wayang Lostang. Proses ini kemudian mentrigger saya: “Bagaimana jika saya juga menggunakan teknik wayang, tapi asetnya sebagian besar dari alam?” Dengan perangkat seadanya, saya kemudian memotret tumbuhan-tumbuhan kecil di sekitar rumah saya untuk dijadikan aset digital.
Proses Produksi
Produksi film Begog memakan waktu sekitar 1 bulan, dimulai dengan membuat cerita dan storyboard kasar. Kemudian, saya memotret segala jenis tumbuhan dan bebatuan yang bentuknya unik. Selanjutnya, saya olah foto-foto ini menggunakan komputer, termasuk menghapus background foto. Karakter-karakternya saya buat digital langsung di laptop. Kemudian saya menyusun dan mengomposisi aset-aset untuk keseluruhan adegan.


Teknik yang saya gunakan untuk film ini ialah cut-out dan motion graphic. Teknik ini menggerakkan gambar statis secara digital, dengan bantuan teknologi. Saya menggunakan Adobe Photoshop untuk mengolah gambar digital dan membuat komposisi. Lalu, saya menggunakan Adobe After Effects untuk menganimasikan karakter-karakter, membuat efek visual, dan menggabungkan elemen visual.
Pada setiap shot filmnya, saya membuat efek parallax dengan menggunakan fitur kamera yang ada di After Effects. Objek antara foreground, karakter, dan background saya jadikan 3D asset flat. Kemudian saya tata jarak per objeknya sehingga menciptakan kedalaman ketika kamera digerakkan. Kamera pan kiri atau kanan, track in dan track out, membuat seolah-olah objek background terlihat jauh dan objek foreground terlihat dekat. Efek ini menciptakan kedalaman, walaupun aset-asetnya siluet sederhana.
Permainan Imajinasi dalam Visual
Menariknya ketika saya membuat komposisi ialah menjadikan tanaman kecil yang saya foto menjadi pohon besar, dan sebaliknya. Dengan demikian, penonton, atau saya sekalipun, tidak pernah membayangkan atau melihat sebelumnya bentuk seperti itu di kehidupan nyata. Batu kerikil menjadi gunung. Daun menjadi bukit. Bunga menjadi goa. Sehingga tahap ini menjadi tahap yang paling asyik bagi saya.

Karakter yang saya buat seperti manusia, anjing, dan babi hutan, saya gerakkan dengan sederhana karena keterbatasan alat dan waktu pengerjaan. Mengingat yang ingin saya tekankan ialah penggunaan media seadanya dengan cerita yang ada di sekitar.
Musik: Hadiah Tak Terduga dari Komposer
Awalnya, musik pada film ini menggunakan musik instrumen Banyumasan yang saya unduh dari internet—musik yang erat hubungannya dengan daerah saya, Cilacap. Namun, perizinan untuk menggunakan musik tersebut belum saya lakukan. Kemudian saya berkonsultasi kepada Dimawan Krisnowo Adji—seorang musisi dan komposer musik yang sebelumnya terlibat bersama di film Wayang Lostang. Saya mengonsultasikan musik seperti apa yang cocok untuk film ini. Ia kemudian memberikan masukan bahwa animasinya masih terlalu pendek, perlu dipanjangkan durasinya biar lebih dramatis dan kompleks. Waktu itu film ini hanya berdurasi 1,5 menit.
Seminggu kemudian, tidak terduga-duga, ia mengirimkan musik hasil garapannya untuk film ini. “Silakan dipakai, Yuk,” kata Pak Dimawan. Ketika saya dengar pertama kali, musiknya sangat indah dan dramatis. Musik yang dibuat merupakan perpaduan antara musik gamelan Banyumasan, cello, dan mezzo-sopran—suara yang berada di antara sopran dan alto, memiliki rentang yang lebih luas dan fleksibel. Mezzo-sopran diisi oleh Devita Ambar Koeswarawangi, dan alunan cello yang dimainkan oleh Dimawan Krisnowo Adji memberikan nuansa dramatis yang mendalam. Kemudian saya sesuaikan shot-shot yang ada dengan musik yang dibuat oleh Dimawan, untuk menghasilkan animasi yang selaras antara musik dan visualnya.
Nilai Budaya dan Pesan Pribadi
Lewat film Begog, saya belajar bahwa animasi bisa lahir dari keterbatasan. Bukan dari alat yang canggih, tapi dari kemauan untuk melihat sekitar dan keberanian untuk mencoba. Daun, batu, dan tanaman kecil di sekitar rumah bisa jadi aset. Cerita yang saya angkat pun berasal dari apa yang saya dan orang kampung alami. Musiknya pun akhirnya hadir sebagai hadiah tak terduga.
Kalau dari segi cerita, saya ingin menyampaikan bahwa, kadang kita menganggap hewan itu hama atau pengganggu, yang mana sebenarnya mereka lebih dulu tinggal di sana. Kita yang mengambil tempat tinggal mereka dulu. Ketika kita sudah memakai dan mengalihfungsikan lahan tersebut, makanan mereka berkurang dan akhirnya mereka datang memakan atau merusak tanaman. Kemudian, kita marah, mengusir, memburu, dan menjual dagingnya. Kalau dipikir-pikir, betapa kasihannya mereka.
Film
Poster

Storyboard




Asset















